Sejarah Berdirinya Vihara Budha Maitreya.
Ikuanisme, I Kuan Tao atau Yi Guan Dao (一貫道) adalah aliran bukan agama yang bermula dari Republik rakyat cina awal Abad ke-20. “I Kuan” berarti persatuan atau kesatuan, sementara Tao berarti jalan, kebenaran atau juga ke-Tuhan-an. Di Indonesia sering diterjemahkan sebagai Jalan Ke-Tuhan-an. Ajaran Ikuanisme menekankan ajaran moral berasal dari Tiongkok, menggabungkan aliran Konfusianisme, Taoisme danBuddha. Ikuanisme bukan aliran atau kepercayaanTaoisme.
I Kuan Tao di Indonesia dikenal sebagai agama Buddha Maitreya. I Kuan Tao berkembang di Indonesia berasal dari Taiwan sekitar tahun 1950-an. Di Taiwan, I Kuan Tao berdiri sendiri sebagai sebuah agama baru dan tidak mendompleng agama Buddha.
I Kuan Tao menyatakan bahwa pencipta alam semesta, bumi dan seluruh mahluk hidup adalah Tuhan yang berupa seorang Ibunda yang disebut Lao Mu. Lingkaran hidup bumi dan alam semesta adalah 108 000 tahun, dan kita berada dalam zaman terakhir dimana manusia telah hidup 60 000 tahun. Manusia sebagai anak-anak dari Tuhan (Lao Mu) karena telah terlalu lama di bumi, tersesat dalam hidup duniawi, terjerumus dalam dosa menyebabkan mereka hidup dalam roda reinkarnasi dan tidak bisa kembali ke Surga. Lao Mu sangat merindukan anak-anaknya di bumi ini, dan mengutus 10 Buddha untuk menyelamatkan anak-anaknya di bumi. 7 Buddha pertama telah datang saat bermulanya kebudayaan manusia, dan 3 Buddha terakhir mengemban tugas penyelamatan. Sehingga dibagi 3 zaman: Zaman Pancaran Hijau, Pancaran Merah, dan Pancaran Putih. Buddha Dipankara diutus saat Zaman Pancaran Hijau (sekitar 3000 SM) sampai lahirnyaSiddharta Buddha. Zaman Pancaran Merah bermula dengan diutusnya Siddharta Gautama. Zaman Pancaran Putih atau zaman terakhir bermula saat Buddha Maitreya diutus. Menurut Ikuanisme Buddha Maitreya telah datang ke dunia sebagai Guru ke-17 Lu Zhong I.
Sejarah resmi I Kuan Tao membagi perkembangan Tao dalam 3 periode. Periode pertama disebut sebagai 18 Sesepuh Pertama dari Timur, yang bermula dari awal adanya manusia. Sesepuh pertama adalah Fu Shi, tokoh mistis dari Tiongkok, pencipta pa kwa (8 triagram). Kemudian berlanjut ke tokoh mitos dan sejarah: Shen Nong (penemu pertanian), Huang Ti (Kaisar Kuning), diteruskan ke raja-raja Tiongkok, sampai Kong Hu Cu, dan terakhir Lau Ce (Penulis Tao Te Ching). Dikatakan bahwa karena perang saudara di daratan Tiongkok, menyebabkan Lao Ce membawa Tao ke India dan meneruskan keSiddhartra Gautama. Di sini bermula periode ke-2 yang disebut 28 Sesepuh dari Barat, bermula dari Siddharta Gautama, diteruskan ke Mahakassapa, dan menurut aliran Zen sampai terakhir Bodhidharma. Bodhidharma dikatakan membawa Tao kembali ke Tiongkok, dan bermulalah periode ke-3: 18 Sesepuh Terakhir dari Timur. Bermula dari Bodhidharma sampai sesepuh ke-6 Hui Neng (sama seperti aliran Zen). Dari sesepuh ke-7 bermula nama-nama dari sekte atau aliran bawah tanah Tiongkok. Guru ke-9 yang bernama Huan te Hui (1624-1690) adalah juga pendiri sekte “Shien Thien Tao” 先天道 (atau Jalan Surga Pertama). Aliran Shien Thien Tao masih ada di Indonesia dalam bentuk kelenteng kelenteng yang dipegang oleh Bhiksuni (Chai Ma). Sehingga disebutlah I Kuan Taobercabang dari Shien Thien Tao. Dokumen dinasti Ching yang ditemukan belakangan ini menunjukkan bahwa Wang Cue Yi 王覺一, sesepuh ke-15, mendirikan aliran “I Kuan Ciao” (Agama I Kuan) di zaman dinasti Ching (sekitar tahun 1850). Sejarah I Kuan Tao menunjuk ke sesepuh ke-17 Lu Chong I 路中一 sebagai jelmaan Buddha Maitreya, merupakan awal Zaman Pancaran Putih (zaman terakhir) di tahun 1905.
I Kuan Tao mulai berkembang pesat saat sesepuh ke-18 Chang Thien Ran 張天然 memegang pemimpin. Sesepuh Chang lahir tahun 1889 pada tanggal Imlek 19 bulan 7, di Ji Ning, propinsi Shan Tong. Sesepuh Chang mengikuti aliran I Kuan Tao sejak tahun 1914. Sesepuh ke-17 Lu Zhong I yang dipercaya adalah jelmaan Buddha Maitreya melihat talenta Sesepuh Chang. Dan setelah meninggalnya sesepuh ke-17 tahun 1925, Sesepuh Chang diangkat menjadi sesepuh ke-18 tahun 1930. Sesepuh Chang dikatakan sebagai jelmaan Ci Kung, Buddha Sinting, atau disebut Buddha Hidup Ci Kung. Sesepuh Chang Thien Ran disebut sebagai Se Cun 師尊 (Bapak Guru Agung). Sesepuh Chang dikatakan atas mandat Lao Mu, menikahi Sesepuh Sun Su Chen 孫素真 yang disebut sebagai jelmaan Bodhisatwa Yek Huei 月慧菩薩 (Dewi Bulan Bijaksana). Sesepuh Sun Su Chen besama Sesepuh Chang Tien Jan menjabat sebagai sesepuh ke-18 I Kuan Tao. Sun dihormati sebagai Se Mu 師母 (Ibu Guru Suci).
I Kuan Tao menyebar pesat dari tahun 1930 sampai 1936. Dari tahun 1937-1947 selama kekuasaan Jepang, I Kuan Tao juga berhasil menarik penganut dari utara, tengah sampai selatan Tiongkok. Sesepuh Chang Tien Ran meninggal tahun 1947 saat komunis mulai berkuasa di Tiongkok.
Dengan meninggalnya Sesepuh Chang, dan berkembangnya komunis di China, I Kuan Tao tidak dalam keadaan yang bersatu. Para muridnya secara tersendiri melarikan diri ke Hong Kong dan Taiwan. Sesepuh Sun Su Cen (Se Mu) mengambil alih kedudukan dan membawa ajaran Ikuanisme ke Hong Kong dan Taiwan. Dari Taiwan I Kuan Tao berkembang pesat dan menyebar ke Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand). Sementara itu, para murid Sesepuh Chang secara individual menyebarkan ajaran I Kuan Tao, sehingga muncul kelompok-kelompok Ikuanisme dengan sesepuh atau pemimpin yang berbeda-beda. Di Taiwan, I Kuan Tao mulai resmi diakui pemerintah sejak tahun 1987.
“Kita memang yang terbesar di Asia Tenggara makanya namanya Maha Vihara Maitreya bukanVihara,”
Sesuai dengan namanya, hampir setiap bagunan menampilkan patung Budha Maitreya, sosok dengan perut besar dan selalu tersenyum. Kabarnya, semua patung didatangkan dari daratan Tiongkok-Taiwan. Ditemani Herman, Sumut Pos pun memulai perjalanannya dari Gedung A, bagian paling kanan gedung. Gedung dengan luas 96x 30 meter terdiri dari empat lantai.
Genta raksasa ini merupakan tujuan wajib para pengunjung yang datang ke Maha Vihara Maitreya. Tidak hanya untuk mengagumi, para pengunjung dipersilakan untuk membunyikan genta dengan kayu pemukul yang dipasang di sebelahnya. “Dengan memukul genta sebanyak tiga kali diharapkan akan membawa kebaikan dan rezeki kepadanya,”tambahnya.
Turun ke lantai I terdapat Graha Sakyamuni (Da Xiong Bao Dian), Graha Guan Yin (Guan Yin Bao Dian), dan Graha Guan Gong (Guan Sheng Bao Dian). Tampak juga relief yang menceritakan Bodhisatva Kwan Im di sebelah kanan dan relief mengenai Bodhisarva Kwan Kong di sebelah kiri. Bangunan ini ditopang oleh 12 pilar polos.
Di sisi luar resto, terdapat sebuah patung teko berwarna hijau. Bila dilihat sekilas, teko yang terus menuangkan air ke dalam cangkir ini seolah terbang. Kesan Teko Terbang ini pun kian nyata saat menyaksikannya di malam hari.
Kedatangan ke Maha Vihara Maitreya ini tidak akan lengkap bila tidak membawa cenderamata. Untuk souvenir tadi bisa didapatkan di Souvenir Shop yang satu bagian dengan Teko Healty Resto. Di situ dapat ditemui miniatur Maha Vihara Maitreya dari ukuran kecil hingga besar juga dalam beberapa pose. Demikian pula patung Budha Maitreya, Bodhisatva Kwan Im, Bodhisatva Kwan Kong, Sakyamuni (Sidarta Gautama) yang dibuat dengan beberapa bahan. Dua jam tak cukup rasanya melihat kemegahan dan keunikan di Maha Vihara Maitreya.
Vihara Maitreya di Indonesia
I Kuan Tao bermula di Indonesia di tahun 1949 di Malang oleh seorang pengikut I Kuan Tao dari Taiwan bernama Tan Pik Ling (Hokkian) atau Chen Po Ling (Mandarin) atau dikenal sebagai Maitreyawira (Indonesia). Tan adalah seorang dokter gigi, pertama sekali datang ke Indonesia sejak tahun 1930. Ia dikatakan diutus oleh Se Mu (Ibu Guru Suci) dan Pan Hua Ling 潘華齡 pemimpin Kelompok Pau Kuang 寶光組. Sejarah lain dari kelompok Pau Kuang Cien Te 寶光建德 mengatakan bahwa sesepuh Li Su Ken 呂樹根 mengutus Tan Pik Ling ke Indonesia. Vihara Maitreya pertama didirikan di Malang bernama Chiao Kuang di tahun 1950. Vihara ini adalah Fo Tang 佛堂 pertama yang berdiri di luar China dan Taiwan. Di bawah pimpinan Tan, Ikuanisme (Buddha Maitreya) berkembang pesat ke Surabaya, Jakarta, Medan, Pontianak dan seluruh Indonesia. Tan meninggal tahun 1985. Di Indonesia, I Kuan Tao menempel sebagai agama Buddha, karena pemerintah hanya mengakui 5 agama resmi. Sehingga di Indonesia Buddha Maitreya muncul sebagai aliran agama Buddha, membentuk Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) dan bernaung di bawah Walubi.
Se Mu 師母(Ibu Suci) sewaktu di Taiwan berada di bawah asuhan Wang Hao Te 王好德 (atau sesepuh Ong) selama 11 tahun, Wang sendiri adalah pengikut kelompok Pao Kuang 寶光組. Dengan meninggalnya Se Mu 4 April 1975, Wang Hao Te mengaku sebagai penerus asli Ikuanisme yang diangkat oleh Se Mu. Hanya melalui beliau Kuasa Firman Tuhan Tien Ming dapat diberikan, Sesepuh Ong mengaku sebagai penerus Benang Emas yang sejati. Banyak kelompok I Kuan Tao yang menolak sehingga Wang Hao Te membentuk aliran sendiri yang disebut Tao Agung Maitreya 彌勒大道. Tan Pik Ling di Indonesia yang juga pengikut kelompok Pao Kuang memutuskan untuk bergabung dengan Wang Hao Te.
Ikuanisme membentuk organisasi sendiri dengan kantor pusat di El Monte, California, pada tahun 2000 membentuk organisasi I Kuan Tao Indonesia dan Yayasan Eka Dharma (dari kelompok Pau Kuang Cien Te). I Kuan Tao tidak mengakui aliran Maitreya dan sebaliknya juga. Namun aliran Buddha Maitreya di Indonesia jauh lebih pesat dan lebih banyak pengikutnya daripada I Kuan Tao.
Aliran Buddha Maitreya berkembang sebagai agama unik Indonesia. Aliran ini mengadopsi istilah-istilah Indonesia dan Sansekerta Buddha. Disebabkan juga oleh tekanan pemerintah ORBA yang melarang penggunaan bahasa Mandarin, liturgi dan upacara keagamaan juga menggunakan Bahasa Indonesia. Larangan juga untuk menggunakan patung-patung non-buddhis (seperti Kuan Kong). Dalam era reformasi sekarang, vihara Maitreya kembali lebih bebas menggunakan bahasa Mandarin. Vihara Maitreya di Indonesia juga unik, berciri khas tercantum kalimat “Tuhan Maha Esa” dan mengikuti perayaan Buddha seperti Waisak, Kathina, dan menggantungkan gambar Siddharta Buddha. Walaupun dalam perayaan-perayaan ini, aliran Maitreya mempunyai cara sendiri yang mana tidak berhubungan dengan perayaan yang sebenarnya. Ciri-ciri ini jarang ditemukan di vihara Maitreya di Taiwan, karena I Kuan Tao mengajarkan bahwa agama Buddha telah ketinggalan zaman, dan sekarang adalah zaman Buddha Maitreya.
Ajaran I Kuan Tao mengajarkan pantangan-pantangan seperti yang umat Buddha awam percaya, Sang Buddha Siddharta Gautama berikan. Berbagai doktrin dan filosofi dipelajari serta diajarkan kepada umat I Kuan Tao, termasuk falsafah Konfusius dan filosofi/akhlak kehidupan seperti San Zi Jing (三字经/三字經). Pengikutnya ditekankan untuk menghormati kepercayaan dan penganut Agama lainnya. Aliran Maitreya juga diterima baik oleh kalangan masyarakat di Amerika Serikat.
Aliran Maitreya berkembang paling pesat di antara aliran Buddha di Indonesia. Para pengikut aliran Maitreya dianjurkan untuk menjadi vegetarian, dan menyebarkan ajaran ini dengan membawa teman atau saudara untuk memohon jalan ke-Tuhan-an.
Sejarah lengkap dapat ditemukan dalam makalah penelitian antropologi dari Amerika dan Eropa. Makalah terlengkap oleh David Jordan dalam bukunya The Flying Phoenix.
Penyebaran vihara Budha Maitreya Sudah sangat banyak di Indonesia. Salah satunya terdapat di Medan yang dikenal dengan nama Maha Vihara Budha Maitreya.
General Information Maha Vihara Budha Maitreya
Di Medan Sendiri Maha Vihara Maitreya terletak di Jalan Cemara Boulevard Utara No 8 Kompleks Perumahan Cemara Asri, lokasi berdirinya Maha Vihara Maitreya, yang terbesar di Asia Tenggara. Masuk dari jalan utama kompleks kemudian berputar melewati sirkuit gokart maka tampaklah bangunan berwarna orange anggun berdiri di sana. Relief naga di bagian depan dua bangunan memberi kesan kekuatan.
Lantai I diperuntukkan untuk perkantoran dengan luas 10×8 meter. Terdapat 10 kantor di situ. Sementara lantai dua, tiga, dan empat merupakan mes bagi pengurus. Lantai dua berisi 32 kamar, lantai tiga ada 26 kamar dan lantai empat ada 16 kamar berukuran 10×4 meter. Ini menunjukkan bagaimana pengelolaan yang dilakukan menggunakan metode yang profesional.
Di pintu masuk, pengunjung akan disambut oleh Patung Budha Maitreya yang terbuat dari kayu Hong, jenis dari Taiwan yang selalu menyebarkan bau harum yang khas. Begitu pun di pintu samping gedung sekretariat ini ketiga patung Budha Maitreya didampingi oleh Bodi Satva Kwan Im dan Panglima Perang, Bodhisatva Satyakalama atauKwanKong.
Di bagian samping Gedung Sekretariat ini dipajang lonceng berukuran besar yang disebut Kuai Le Zhong atau Genta Kebahagiaan. Genta berbobot tujuh ton itu didatangkan dari Tiongkok, posisinya digantung pada bangunan yang menaunginya. Tampak di sisi genta terukir aksara Tiongkok yang berisikan Dharma Hati. “Dharma Hati ini merupakan ajaran untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup,” jelas Herman.
Setelah Gedung A, perjalanan pun dilanjutkan ke sebelahnya yaitu Gedung B yang kalau dilihat dari depan merupakan gedung tengah. Menuju ke bagian tengah melintasi kolam Bodhisatva Kwan Im yang berada di antara Gedung A dan Gedung B. Tampak patung Bodhisatwa Kwan Im berwarna putih berdiri tegak di atas seekor naga dengan latar relief yang menggambarkan alam kehidupan nirwana. Patung Bodhisatva Kwan Im ini diapit oleh dua jembatan kebahagiaan di sebelah kiri dan jembatan kesehatan di sebelah kanan.
Beberapa ekor ikan koi beraneka warna berenang bebas di kolam memberi kesegaran dan kenyamanan saat berada di situ. “Orang berkunjung kemari tidak hanya untuk beribadah, bisa juga rekreasi. Dengan rekreasi segala penat akan hilang dan kembali bersemangat dalam menjalani kehidupan ini,” terang Herman.
Di gedung inilah terletak Altar Utama tepatnya di lantai dua disebut juga dengan Graha Maitreya (Mi Le Bao Dian) dengan ukuran 96×38 meter dan berdaya tampung seribu orang. Di sini terdapat Patung Budha Maitreya dengan pose duduk bersila. Patung setinggi tujuh meter ini terbuat dari tembaga yang didatangkan dari Taiwan. “Karena terlalu besar patungnya dirakit di Indonesia. Dari Taiwan kita datangkan lempengan patungnya,”beberHerman.
Di bagian belakang Altar Utama terdapat Graha Leluhur dengan luas 8 x 28 meter. Di situ terdapat lima papan berisikan nama kelima sesepuh yang disusun sesuai urutannya. Pintu dengan gaya khas Tiongkok memberi kesan tersendiri di bagian ini.
Sementara di bagian luar terdapat delapan pilar naga. Ke delapan pilar ini seperti mengapit patung Budha Maitreya yang membawa kantung kebahagiaan serta sekeping emas di tangan kanannya. Menurut Herman, semua pengunjung dipastikan menghampiri untuk mengelus perut sang kebahagiaan ini. “Sampai perut sang patung Budha ini lecet karena memang semua pasti mengelus perut. Diyakini akan mendatangkan rezeki,” kata Herman seraya mengelus perut patung Maitreya dengan kedua tangannya.
Bagian akhir yaitu Gedung C dengan luas 96 meter x 30 meter terdiri atas tiga lantai. Adapun lantai satu adalah Teko Healty Resto berukuran 80 meter x 30 meter. Seperti namanya, restoran ini merupakan pusat jajanan ala vegetarian. “Budha Maitreya merupakan vegetarian maka kita pemujanya juga penganut vegetarian,” lanjutnya.
Di antara Teko Healty Resto dan Gedung B terdapat sebuah tempat bermain bagi anak-anak. Tampak replika kapal laut dilengkapi dengan celah yang sangat disukai anak-anak juga beberapa miniatur untuk bermain. Patung Bodhisatva Kwan Im yang didampingi patung malaikat kecil seolah menjadi saksi kebahagiaan mereka.
Bagian lain dari gedung C ini adalah serbaguna hall yang berada di lantai dua dan Sky Convention Hall di lantai tiga. Kedua bahagian ini dapat digunakan untuk kegiatan umum. Bahkan beberapa kali konser telah digelar di Sky Convention Hall. “Ruangan menggunakan pengedap suara jadi dipastikan tidak akan mengganggu kegiatan ibadah bila berlangsung bersamaan. Sky Convention Hall ini dapat menampung 3.000 orang,” papar Herman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar